Senin, 09 Januari 2012

Manusia atau Bumi?
Siapa yang tak tergiur terlibat dalam bisnis perkebunan dinegara-negara tropis dan sub-tropis, seperti Indonesia, Brasil, Argentina, ataupunnegara-negara dikawasan asia dan amerika latin lainnya. Sebut saja misalnya pemodal nasional, keluarga besar perusahaan H.M Sampoerna setelah menjual sahamnya kepada perusahaan rokok milik asing phillip moris serta merta dimedia nasional diberitakan bahwa mereka akan membuka jutaan hektar lahan untuk perkebunan tebu. Atau rencana investasi modal dari Swiss akan membuka perkebunan tanaman Jarak di Nusa Tenggara Timur dengan nilai investasi 1 trilliun rupiah, bukan angka yang main-main. Di Brasil perusahaan semacam Cargill membeli pabrik gula perkebunan tebu di Cevasa di wilayah Ribeirão Preto, São Paulo. Memang menurut catatan sejarah perkebunan merupakan warisan sistem kolonial untuk memenuhi kebutuhan bahan mentah negara-negara industri kaya seperti di dataran Amerika Serikat, Jepang, maupun Eropa.

Dengan adanya Peraturan tentang Energi yang Terbarukan (RED; Peraturan 2009/28/EC), Uni Eropa telah menetapkan target bahwa 10% dari bahan bakar semua transportasi darat harus berasal dari sumber-sumber yang terbarukan pada tahun 2020.


Kriteria kelestarian RED mencakup ambang batas penghematan gas rumah kaca sebesar 35% dibandingkan dengan bahan bakar fosil (50% setelah 2017) dan pelarangan agrofuel yang berasal dari area-area dengan keanekaragaman tinggi serta tanah yang memiliki pasokan karbon tinggi.
Pada bulan Juni 2010 semua negara anggota harus menyerahkan Rencana Aksi Nasional (NAP) kepada Komisi Eropa untuk memberikan informasi bagaimana mereka akan memastikan bahwa 10% dari semua bahan bakar transportasi berasal dari sumber yang terbarukan pada tahun 2020.
Yang berbahaya adalah bahwa target ini mungkin sebagian besar dicapai dengan agrofuel. Namun, Pemerintah Inggris, misalnya, telah mengumumkan pada bulan April 2010 bahwa NAP Inggris “tidak akan mencakup komitmen baru apa pun untuk meningkatkan penggunaan biofuel dalam kaitannya dengan transportasi di Inggris.”
Laporan Komisi Eropa mengenai dampak agrofuel (Maret 2010), yang menggarisbawahi perlu segeranya mempertimbangkan perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung (ILUC), mudah-mudahan akan memiliki dampak pada keputusan negara anggota Uni Eropa lainnya tentang target-target agrofuel.
Di Indonesia, Presiden kemudian mengeluarkan Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Pada pasal 1 ayat 3 mulai dimenggulirkan penggunaan nuklir dan ayat 4 mengenalkan istilah biofuel. Amerika Serikat juga menargetkan penggunaan agrofuel sebanyak 35 milyar galon per tahunnya. Padahal jelas lahan pertanian mereka tidak cukup untuk memenuhi target tersebut (Holt-Gimenez, 2007), Gayung bersambut maka berlomba-lomba setiap daerah menyatakan siap menyediakan lahan hingga jutaan hektar, bukan main. Padahal kita tahu bahwa lahan-lahan pertanian di Indonesia sudah disesaki oleh 25,4 juta petani kecil alias gurem. Serta merta masih banyak lahan-lahan tersedia.
Di Indonesia Data yang ada menunjukkan bahwa dari total luas lahan sawit yang ditanami sebesar 5,5 juta hektar sebanyak 4 juta hektar (67 persen) dikuasai oleh perusahaan swasta sementara sisanya dikelola oleh perkebunan kecil. Dalam usaha perkebunan sawit ini terdapat sembilan perusahaan yang dapat dikatakan sebagai pemain utama yaitu PT Salim Plantation, Pt Golden Agri Resources, Texmaco Group, PT Asian Agri, PT Astra Agro Lestari Tbk, hashim Group, Surya Dumai Group, PT PP London Sumateran Indonesia Tbk, Duta Palma Group dan PT Bakrie Sumatera Plantation. Kesembilan perusahaan raksasa ini memegang kontrol terhadap 2.920.102 hektar lahan sawit dengan proporsi terbesarnya dikuasai oleh PT Salim Plantation dengan total lahan 1.155.745 hektar (Hernanda dan Sihombing, 2007). Tiap tahunnya luasan perkebunan sawit selalu meningkat, sedangkan luasan lahan pertanian pangan makin menyempit. Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang digulirkan sejak tahun lalu masih menjadi macan kertas apalagi program revitalisasi pertanian, perikanan dan kehutanan.
Keberpihakan program-program pemerintah semakin jelas lebih besar kepada perusahaan besar saja. Indikatornya sederhana saja, progra agrufuel yang digulirkan pemerintah Amerika begitu cepat direspon, lahan-lahan disediakan dengan mudah bahkan dengan Hak Guna Usaha (HGU) hingga 95 tahun, dan kemudahan-kemudahan perizinan. Bahkan departemen pertanian mencarikan lahan bagi PT. Medco yang siap menanami padi dengan sistem SRI (menanam padi dengan sistem intensifikasi), tidak tanggung Medco siap mendanai untuk lahan seluas 10.000 ha.
Sebuah kajian besar ilmiah dan independen mengenai efek lingkungan dari agrofuel diterbitkan pada bulan April – laporan yang terbit tepat waktu dalam konteks saat adanya pengembangan NAP serta proposal ILUC oleh Uni Eropa. Kajian yang melibatkan 75 ilmuwan dari 21 negara ini mengungkapkan bahwa “Sehubungan dengan adanya konsekuensi lingkungan merugikan, kemungkinan perpindahan atau kompetisi dengan tanaman pangan, dan sulitnya memenuhi sasaran-sasaran ini tanpa adanya konversi tanah dalam skala besar, maka mandat dan target yang ada saat ini untuk mendapatkan biofuel cair haruslah dipertimbangkan kembali,”. Mudah-mudahan saja akan sulit bagi para pembuat kebijakan untuk mengabaikan bukti-bukti ilmiah semacam itu mengenai dampak negatif agrofuel.

petani di seluruh dunia saat ini sangat khawatir dengan perkembangan agrofuel. Dalam Nyéléni World Forum for Food Sovereignty (Februari 2007), La Via Campesina bersama ratusan organisasi lain menekankan bahwa prefiks ‘bio’ dalam biofuel tidak berarti bahan bakar nabati ini ramah lingkungan. Gamblangnya, istilah itu sangat menyesatkan dan secara politis tidak benar.
Apa yang akan terjadi kemudian apabila memproduksi agrofuel lebih menguntungkan dibanding memproduksi beras, jagung, singkong, atau kedelai? Tentu saja, petani akan mengganti tanaman pangan mereka dengan tanaman agrofuel? 

0 komentar:

Posting Komentar