Atjeh dan Kearifan Lokalnya
Udep Merde’ka, mate syahid;
langet sihet awan peutimang,
bumoe reunggang ujeun perata,
salah narit peudeng peuteupat,
salah seunambat
teupuro dumna
(Sultan Alaidin Mahmud Syah)
BAGAIMANA Aceh melihat diri sendiri sebagai Aceh? begitu
pertanyaan Hasan Tiro saat mengawali menulis bukunya Aceh di Mata Dunia. Terlepas
pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Hasan Tiro sebagai bentuk motivasi
perlawanan terhadap ‘penjajahan’ oleh Indonesia kepada Aceh, pertanyaan
tersebut merupakan jawaban atas hipotesis tentang siapa kita (Aceh) dan
bagaimana kita menjaga dan melestarikan Aceh serta kearifan lokal dan budayanya.
Tanggung jawab atas jawaban dari pertanyaan itu
jelas ditujukan kepada kita selaku generasi baru, pemuda. Dan untuk menjawab
itu, tentu kita harus memahami bagaimana perjalanan sejarah siapa sebenarnya
bangsa ini, apa kearifan lokal yang dimilikinya dan apa saja nilai
kebudayaannya. Sehingga kita mampu menatap siapa kita dimasa yang akan datang
dan kemudian akan terus merawatnya.
Akar Kerarifan Lokal
dan Budaya Aceh
Dalam sejarahnya, Aceh sangat tercatat sebagai
daerah yang kental dan sarat akan budaya-budaya keislaman. Hampir semua budaya
ataupun adat istiadat Aceh mengandung nilai-nilai islam didalamnya. Dengan
status Serambi Mekkah, Aceh menjadi
salah satu daerah dengan kekuatan islam
terbesar didunia.
Pada masa penjajahan oleh Belanda, Aceh merupakan satu-satunya
daerah yang paling sulit ditaklukkan karena kuatnya akidah islam yang
bersemayam dijiwa orang Aceh. Dalam Aceh di Mata Dunia, Hasan Tiro menulis “Setelah
peperangan besar dengan Belanda yang dimulai pada tahun 1873 dan selesai pada tahun
1937, tidak ada satupun pemimpin Aceh yang hidup karena semua memilih syahid
dalam peperangan dari pada hidup menjadi budak Belanda” (Hasan Tiro, 2013:
2-3).
Kata ‘syahid’
yang dituliskan Hasan Tiro disana menunjukkan sikap rela mati para raja
dan pahlawan Aceh saat berperang melawan Belanda untuk mempertahankan Aceh dan islamnya.
Dalam alquran, setiap muslim yang mati dalam keadaan syahid (berjuang membela
kebenaran) dijanjikan pahala yang besar oleh Allah SWT. Janji itu tertuang
dalam alquran, surat Ali-Imran, ayat 169-171.
Islam pertama kali hadir di Aceh dibawa oleh Sultan
Malik As-Saleh (Malikussaleh) dan kerajaannya Samudera Pasai pada tahun 1267. Kerajaan
inilah kemudian mewariskan islam di Aceh, yang melekat sejak dulu hingga saat
ini. Hingga pada tahun 1521 kerajaan Samudera Pasai kalah diserang Portugal. Kerajaannya
runtuh, namun islam tetap bertahan di Aceh.
Menurut beberapa literatur sejarah tentang
penyebaran islam di Aceh, syiar agama islam yang dilakukan pada masa itu tidak
semudah membalikkan telapak tangan. Para alim ulama kala itu, menyiasati beberapa
cara seperti dengan menggunakan kesenian. Seperti seni tari; Rapa’i Pase,
Seudati, dan lain-lain, serta seni musik. Melalui cara tersebut pera penyiar
agama menitipkan pesan-pesan islam didalamnya. Lewat pesan yang terkadung dalam
kesenian tersebut, kemudian masyarakat tertarik dan menyukainya lalu memeluk
islam hingga bersedia membela islam mati-matian.
Sementara itu, masih banyak sekali kearifan budaya
Aceh yang harus dikenali dan pertahankan oleh generasi muda Aceh. Seperti
budaya meramaikan meunasah. Salah satu sejarawan yang juga penyair Aceh, Sulaiman
Tripa, dalam buku yang ditulis M Adli Abdullah, Membedah Sejarah Aceh,
mengatakan, “Dalam tradisi budaya masyarakat Aceh meunasah disamping berfungsi
sebagai tempat ibadah, juga sebagai rumah sekolah, tempat berdiskusi, pengajian
dan belajar alquran” (M. Adli Abdullah, 2011: 150).
Disamping itu juga ada budaya toleransi, fungsi Aneuk Agam, dan berbagai macam kearifan
budaya Aceh lainnya yang masih perlu dikaji dan pertahankan oleh generasi muda
Aceh. macam-macam budaya itu hanya bisa didapat dengan mempelajari dan merawat
kearifan budaya itu sendiri.
Penekanan pada nilai-nilai keislaman menjadikan
islam sebagai akar dari kearifan lokal Aceh. Sementara budaya maupun adat–istiadat
merupakan wujud dari kearifan lokal itu sendiri. Islam sebagai agama yang
paling kuat di Aceh menjadi bagian paling penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Peran islam tidak hanya sebatas pada konteks keagamaan, namun juga mencakup
pada kegiatan sosial dan budaya. Islam menjadi sarana pemersatu dan panduan
disaat rakyat mulai kehilangan arah.
Pendidikan
Kebudayaan
Setuju atau tidak, nilai-nilai dari kearifan lokal
Aceh kini mulai luntur secara perlahan-lahan. Budaya dan adat istiadat dianggap
kuno dan mulai ditinggalkan. Teknologi dan pegaruh pasar pun menjadi penting
sebagai bentuk perkembangan zaman (modern).
Generasi muda Aceh telah dihegemoni oleh modernisasi, terutama pada sektor
kecanggihan teknologi. Hand Phone,
Facebook, Twitter, BlackBerry Messenger (BBM), dan berbagai hal lainnya
menjadi ‘penyakit’ utama yang menyebabkan degradasi moral. Hegemoni tersebut
yang kemudian berujung pada mencairnya kearifan lokal. Kita telah menjadi modernomaniak.
Tidak hanya wilayah perkotaan, hegemoni modernisme juga merambah pedesaan. Lihat
saja, jumlah pemuda yang berada di warung kopi (warkop) yang menyediakan
fasilitas internet lebih banyak dibandingkan dengan balai pengajian, masjid
atau meunasah yang menyajikan pengajian-pengajian agama.
Hal tersebut juga terjadi pada tataran budaya kesenian.
Kesenian modern dianggap lebih menarik ketimbang memainkan berbagai kesenian
yang menjadi warisan pendahulu. Penari sanggar memilih menarikan tarian-tarian
baru, yang memadukan keduanya (klasik dan modern) atau seni tari kontemporer. Sadar atau tidaknya,
kesenian baru tersebut perlahan-perlahan mulai menghilangkan pesan atau
nilai-nilai keislaman. Moral, akidah dan akhlak yang ditonjolkan islam mulai
hilang. Seni kontemporer akhirnya
hanya menampilkan estetika semata.
Hal terutama yang penting dilakukan menurut saya
adalah menjaga islam agar tetap tertanam didalam diri para generasi muda Aceh.
Karena hanya islam yang mampu mempertahankan kearifan budaya Aceh. Selain itu,
perlu peningkatan pendidikan budaya, terutama disekolah-sekolah formal.
Generasi Aceh harus sejak awal ditanamkam kebudayaan
sendiri. Pelajaran tentang kebudayaan di sekolah-sekolah, tidak lagi sebatas
pada mengetahui jenis-jenis budaya saja. Juga pada tataran praktik. Penari
sanggar harus lebih mencintai tari tradisional yang sarat dengan pesan islam.
Hasan Tiro pun sepakat, yang membuat Aceh besar dan
diperhitungkan dunia adalah pandangan kita sendiri terhadap bagaimana dan siapa
sebenarnya Aceh. Dalam Aceh di Mata Dunia, dia menulis “Jika kita melihat diri
kita sebagai sebuah bangsa yang hina, lemah, tidak mulia, ditipu, diperintahkan
oleh orang lain, menyembah pada bangsa lain dan menerima perintah orang lain
yang datang ke Aceh, maka kita akan hancur. Nama Aceh akan hilang, menjadi
jajahan orang lain dan budak bangsa lain. Tetapi, jika kita memandangnya
sebagai bangsa yang mulia seperti teladan yang dicontohkan nenek moyang kita,
maka kita tidak akan pernah mau diperintah oleh bangsa lain yang ke Aceh. Jika
kita memandangnya sebagai bangsa yang mulia yang tidak kurang apapun seperti
bangsa lain, tidak bodoh, tidak lemah, berani dan tahu apa kepentingan kita,
serta mengerti mengatur rumah dan negeri kita dan sangat pantang dijadikan
budak oleh bangsa lain. Padahal sudah ribuan tahun, kita hidup mulia, megah,
merdeka dan tahu hak serta kewajiban. Maka, kita akan bangkit kembali. Aceh
akan makmur dan tidak akan pernah hilang dalam lipatan sejarah dunia” (Hasan
Tiro, 2013: 1-2).
Akhirnya, marilah kita melihat diri kita sebagai
bangsa yang mulia, penuh dengan budaya-budaya yang sarat dengan norma, akhlak
yang baik, berani seperti yang diajarkan islam melalui para pendahulu kita.
Meyakini bahwa mempelajari budaya sendiri tidak akan menjadikan kita sebagai
bangsa dengan orang-orang tertinggal atau primitif. Mengetahui dan memahami
sejarah. Menjaga dan merawat berbagai situs sejarah atau situs budaya islam
yang ditinggalkan. Karena hanya dengan hal-hal tersebutlah generasi baru Aceh,
akan lebih menghargai dan mencintai Aceh. Mencintai budaya sendiri, adat-istiadat,
serta menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman sebagai kearifan lokal Aceh []
0 komentar:
Posting Komentar