Sabtu, 01 Februari 2014




Atjeh dan Kearifan Lokalnya



Udep Merde’ka, mate syahid;
langet sihet awan peutimang,
bumoe reunggang ujeun perata,
salah narit peudeng peuteupat,
salah seunambat teupuro dumna
(Sultan Alaidin Mahmud Syah)
BAGAIMANA Aceh melihat diri sendiri sebagai Aceh? begitu pertanyaan Hasan Tiro saat mengawali menulis bukunya Aceh di Mata Dunia. Terlepas pertanyaan tersebut dilontarkan oleh Hasan Tiro sebagai bentuk motivasi perlawanan terhadap ‘penjajahan’ oleh Indonesia kepada Aceh, pertanyaan tersebut merupakan jawaban atas hipotesis tentang siapa kita (Aceh) dan bagaimana kita menjaga dan melestarikan Aceh serta kearifan lokal dan budayanya.
Tanggung jawab atas jawaban dari pertanyaan itu jelas ditujukan kepada kita selaku generasi baru, pemuda. Dan untuk menjawab itu, tentu kita harus memahami bagaimana perjalanan sejarah siapa sebenarnya bangsa ini, apa kearifan lokal yang dimilikinya dan apa saja nilai kebudayaannya. Sehingga kita mampu menatap siapa kita dimasa yang akan datang dan kemudian akan terus merawatnya.

Akar Kerarifan Lokal dan Budaya Aceh
Dalam sejarahnya, Aceh sangat tercatat sebagai daerah yang kental dan sarat akan budaya-budaya keislaman. Hampir semua budaya ataupun adat istiadat Aceh mengandung nilai-nilai islam didalamnya. Dengan status Serambi Mekkah, Aceh menjadi salah satu daerah dengan  kekuatan islam terbesar didunia.
Pada masa penjajahan oleh Belanda, Aceh merupakan satu-satunya daerah yang paling sulit ditaklukkan karena kuatnya akidah islam yang bersemayam dijiwa orang Aceh. Dalam Aceh di Mata Dunia, Hasan Tiro menulis “Setelah peperangan besar dengan Belanda yang dimulai pada tahun 1873 dan selesai pada tahun 1937, tidak ada satupun pemimpin Aceh yang hidup karena semua memilih syahid dalam peperangan dari pada hidup menjadi budak Belanda” (Hasan Tiro, 2013: 2-3).
Kata ‘syahid’  yang dituliskan Hasan Tiro disana menunjukkan sikap rela mati para raja dan pahlawan Aceh saat berperang melawan Belanda untuk mempertahankan Aceh dan islamnya. Dalam alquran, setiap muslim yang mati dalam keadaan syahid (berjuang membela kebenaran) dijanjikan pahala yang besar oleh Allah SWT. Janji itu tertuang dalam alquran, surat Ali-Imran, ayat 169-171.
Islam pertama kali hadir di Aceh dibawa oleh Sultan Malik As-Saleh (Malikussaleh) dan kerajaannya Samudera Pasai pada tahun 1267. Kerajaan inilah kemudian mewariskan islam di Aceh, yang melekat sejak dulu hingga saat ini. Hingga pada tahun 1521 kerajaan Samudera Pasai kalah diserang Portugal. Kerajaannya runtuh, namun islam tetap bertahan di Aceh.
Menurut beberapa literatur sejarah tentang penyebaran islam di Aceh, syiar agama islam yang dilakukan pada masa itu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Para alim ulama kala itu, menyiasati beberapa cara seperti dengan menggunakan kesenian. Seperti seni tari; Rapa’i Pase, Seudati, dan lain-lain, serta seni musik. Melalui cara tersebut pera penyiar agama menitipkan pesan-pesan islam didalamnya. Lewat pesan yang terkadung dalam kesenian tersebut, kemudian masyarakat tertarik dan menyukainya lalu memeluk islam hingga bersedia membela islam mati-matian.
Sementara itu, masih banyak sekali kearifan budaya Aceh yang harus dikenali dan pertahankan oleh generasi muda Aceh. Seperti budaya meramaikan meunasah. Salah satu sejarawan yang juga penyair Aceh, Sulaiman Tripa, dalam buku yang ditulis M Adli Abdullah, Membedah Sejarah Aceh, mengatakan, “Dalam tradisi budaya masyarakat Aceh meunasah disamping berfungsi sebagai tempat ibadah, juga sebagai rumah sekolah, tempat berdiskusi, pengajian dan belajar alquran” (M. Adli Abdullah, 2011: 150).
Disamping itu juga ada budaya toleransi, fungsi Aneuk Agam, dan berbagai macam kearifan budaya Aceh lainnya yang masih perlu dikaji dan pertahankan oleh generasi muda Aceh. macam-macam budaya itu hanya bisa didapat dengan mempelajari dan merawat kearifan budaya itu sendiri.
Penekanan pada nilai-nilai keislaman menjadikan islam sebagai akar dari kearifan lokal Aceh. Sementara budaya maupun adat–istiadat merupakan wujud dari kearifan lokal itu sendiri. Islam sebagai agama yang paling kuat di Aceh menjadi bagian paling penting dalam kehidupan bermasyarakat. Peran islam tidak hanya sebatas pada konteks keagamaan, namun juga mencakup pada kegiatan sosial dan budaya. Islam menjadi sarana pemersatu dan panduan disaat rakyat mulai kehilangan arah.
Pendidikan Kebudayaan
Setuju atau tidak, nilai-nilai dari kearifan lokal Aceh kini mulai luntur secara perlahan-lahan. Budaya dan adat istiadat dianggap kuno dan mulai ditinggalkan. Teknologi dan pegaruh pasar pun menjadi penting sebagai bentuk perkembangan zaman (modern).
Generasi muda Aceh telah dihegemoni oleh modernisasi, terutama pada sektor kecanggihan teknologi. Hand Phone, Facebook, Twitter, BlackBerry Messenger (BBM), dan berbagai hal lainnya menjadi ‘penyakit’ utama yang menyebabkan degradasi moral. Hegemoni tersebut yang kemudian berujung pada mencairnya kearifan lokal. Kita telah menjadi modernomaniak.
Tidak hanya wilayah perkotaan, hegemoni modernisme juga merambah pedesaan. Lihat saja, jumlah pemuda yang berada di warung kopi (warkop) yang menyediakan fasilitas internet lebih banyak dibandingkan dengan balai pengajian, masjid atau meunasah yang menyajikan pengajian-pengajian agama.
Hal tersebut juga terjadi pada tataran budaya kesenian. Kesenian modern dianggap lebih menarik ketimbang memainkan berbagai kesenian yang menjadi warisan pendahulu. Penari sanggar memilih menarikan tarian-tarian baru, yang memadukan keduanya (klasik dan modern) atau seni tari kontemporer. Sadar atau tidaknya, kesenian baru tersebut perlahan-perlahan mulai menghilangkan pesan atau nilai-nilai keislaman. Moral, akidah dan akhlak yang ditonjolkan islam mulai hilang. Seni kontemporer akhirnya hanya menampilkan estetika semata.
Hal terutama yang penting dilakukan menurut saya adalah menjaga islam agar tetap tertanam didalam diri para generasi muda Aceh. Karena hanya islam yang mampu mempertahankan kearifan budaya Aceh. Selain itu, perlu peningkatan pendidikan budaya, terutama disekolah-sekolah formal.
Generasi Aceh harus sejak awal ditanamkam kebudayaan sendiri. Pelajaran tentang kebudayaan di sekolah-sekolah, tidak lagi sebatas pada mengetahui jenis-jenis budaya saja. Juga pada tataran praktik. Penari sanggar harus lebih mencintai tari tradisional yang sarat dengan pesan islam.
Hasan Tiro pun sepakat, yang membuat Aceh besar dan diperhitungkan dunia adalah pandangan kita sendiri terhadap bagaimana dan siapa sebenarnya Aceh. Dalam Aceh di Mata Dunia, dia menulis “Jika kita melihat diri kita sebagai sebuah bangsa yang hina, lemah, tidak mulia, ditipu, diperintahkan oleh orang lain, menyembah pada bangsa lain dan menerima perintah orang lain yang datang ke Aceh, maka kita akan hancur. Nama Aceh akan hilang, menjadi jajahan orang lain dan budak bangsa lain. Tetapi, jika kita memandangnya sebagai bangsa yang mulia seperti teladan yang dicontohkan nenek moyang kita, maka kita tidak akan pernah mau diperintah oleh bangsa lain yang ke Aceh. Jika kita memandangnya sebagai bangsa yang mulia yang tidak kurang apapun seperti bangsa lain, tidak bodoh, tidak lemah, berani dan tahu apa kepentingan kita, serta mengerti mengatur rumah dan negeri kita dan sangat pantang dijadikan budak oleh bangsa lain. Padahal sudah ribuan tahun, kita hidup mulia, megah, merdeka dan tahu hak serta kewajiban. Maka, kita akan bangkit kembali. Aceh akan makmur dan tidak akan pernah hilang dalam lipatan sejarah dunia” (Hasan Tiro, 2013: 1-2).
Akhirnya, marilah kita melihat diri kita sebagai bangsa yang mulia, penuh dengan budaya-budaya yang sarat dengan norma, akhlak yang baik, berani seperti yang diajarkan islam melalui para pendahulu kita. Meyakini bahwa mempelajari budaya sendiri tidak akan menjadikan kita sebagai bangsa dengan orang-orang tertinggal atau primitif. Mengetahui dan memahami sejarah. Menjaga dan merawat berbagai situs sejarah atau situs budaya islam yang ditinggalkan. Karena hanya dengan hal-hal tersebutlah generasi baru Aceh, akan lebih menghargai dan mencintai Aceh. Mencintai budaya sendiri, adat-istiadat, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman sebagai kearifan lokal Aceh []

0 komentar:

Posting Komentar