Sabtu, 21 September 2013

Inspiration & Motivation

Setitik mimpi Nurhayati

Oleh: Zulfikar Husein


Krek...Itulah suara ranting-ranting kering terserak yang memberikan kesan berisik ketika langkah saya mendekat di sebuah rumah di kawasan Teumpok Teungoeh Kota Lhokseumawe, Aceh. Rumahnya bisa dikatakan sangat sederhana. Saking sederhananya bentuk bangunan itu sehingga lebih layak disebut gubuk. Gubuk lapuk. Terkesan ringkih di tengah rawa dan bangunan-bangunan permanen kota.

Pemilik rumah itu adalah Nurhayati. Dialah sang ratu di “istana”  lapuk itu. Perempuan kelahiran Lhokseumawe, 31 Agustus 1967 atau 45 tahun silam itu, tinggal kesepian di sana. Ia telah ditinggal suaminya kawin lain, karena ia dianggap mandul.

Gubuk itu ditinggalinya sejak sejak tahun 2004 silam. Rumah itu tanpa listrik. Hanya lilin berbotol mini menemaninya untuk menghindari gelap-gulita di malam hari.

“Saya tidak tahu harus tinggal dimana, inilah yang saya miliki,” kata Nurhayati, saat saya menemui ratu “istana” lapuk itu, Sabtu, 2 Februari lalu. Pernyataan itu seperti mengetuk indera perasaan. Ia menceritakan dengan lirih bahwa rawa itu pun bukanlah miliknya, melainkan milik salah seorang karyawan perusahaan asing ternama yang ada disekitar kota megah tersebut.
Kita tinggal di Kota petro dollar, kota gas megahnya, lalu mengapa hal seperti ini masih ada? pikiran saya berontak sendiri. Hanya berbekal kemampuan sebagai tukang urut keliling, ia mendapatkan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tubuhnya digerogoti beberapa penyakit, seperti reumatik dan gangguan lambung, sehingga terpaksa tergantung pada obat-obat generik yang didapatkan di apotik.

Perempuan yang memiliki kesenangan memelihara bunga untuk menghapus sepi ini mengaku tidak pernah mendapat perhatian khusus dari pemerintah. “Hanya ada bantuan dari tetangga,” katanya sambil tertunduk lesu. Baru-baru ini, ia dibantu untuk memperbaiki atap rumah oleh seorang dokter yang tinggal di sekitar lingkungan itu. Namun tetap saja ia tak mampu menggantikanya dengan atap seng atau genteng tanah liat untuk “istana tersayangnya” itu. Rumah itu hanya terkanopi pelepah daun rumbia. Kesedihan begitu tergambar di wajahnya, ketika menceritakan bagaimana ia harus memperbaiki dinding-dinding rumahnya yang keropos.

Dengan kondisi seperti itu ia tetap terlihat tegar dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Setiap paginya, setelah salat subuh, ia pergi mengambil air di sumur untuk diisi ke bak kamar mandi di rumahnya. Kemudian ia berkemas ke pasar dengan berjalan kaki menggunakan sendal bututnya, sambil menjinjing sebuah kantung beras untuk mengutip botol-botol bekas air mineral. Di pasar, ia giat membantu sepasang suami istri yang berdagang buah kelapa.

Sejak pagi rumah itu tertutup dan baru terbuka kembali ketika matahari akan ditelan bumi. Saat itulah Selinting lilin kembali menemaninya di saat gelap, tanpa listrik ia berdiam istirahat hingga pagi.

Ada dua tempat tidur di rumah tak berkamar itu. Satu berbahan busa sedangkan satu lagi dipan sederhana. Ia lebih memilih dipan sederhana yang mulai berkutu atau pijet dalam bahasa Aceh. Ia seperti ratu di tengah kutu-kutu kasur itu. “Saya tidak bisa tidur disitu, bisa sesak saya, karena tenggelam ke dalam,” tuturnya. Kesabarannya begitu dalam sehingga ia tetap tak mencoba untuk meminta bantuan ke rumah walikota yang katanya sedang menjalankan program syariat Islam lewat ngangkangnya itu.

Sejuta cerita indah melingkupi kota yang pada masa megahnya pernah berdiri perusahaan gas multinasional dan perusahaan-perusahaan hilir lainnya. Gegap dian yang tersembul di cerubung pabrik dan lampu kelap-kelip itu kini mulai meredup, seredup perasaan Nurhayati memanggul derita sendirian. Lalu, sampai kapan ia akan menempati gubuk di rawa itu?

Mungkin masih ada yang ingat kampanye sang walikota pada Pilkada lalu yang mengatakan dengan penuh cinta bahwa masyarakat miskin adalah sahabat-sahabatnya? Rayuan cinta itu mengantarkannya terpilih menjadi walikota. Tapi masyarakat yang dicintainya dalam kata itu, seperti Nurhayati, masih sepi tanpa bantuan “cinta” yang membuatnya bisa sedikit berbahagia. Miskin di istana lapuknya.

Penulis adalah: Jurnalis dan Peserta Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan 3.


0 komentar:

Posting Komentar