This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.
Jumat, 18 Oktober 2013
Sabtu, 21 September 2013
Inspiration & Motivation
9/21/2013 02:55:00 PM
No comments
Setitik mimpi Nurhayati
Oleh: Zulfikar Husein
Krek...Itulah
suara ranting-ranting kering terserak yang memberikan kesan berisik ketika
langkah saya mendekat di sebuah rumah di kawasan Teumpok
Teungoeh Kota Lhokseumawe, Aceh.
Rumahnya bisa dikatakan sangat sederhana. Saking sederhananya bentuk bangunan
itu sehingga lebih layak disebut gubuk. Gubuk lapuk. Terkesan ringkih di tengah rawa dan
bangunan-bangunan permanen kota.
Pemilik rumah itu adalah Nurhayati. Dialah sang ratu di
“istana” lapuk itu. Perempuan kelahiran Lhokseumawe, 31 Agustus 1967 atau
45 tahun silam itu, tinggal kesepian di sana. Ia telah ditinggal suaminya kawin
lain, karena ia dianggap mandul.
Gubuk itu ditinggalinya sejak sejak tahun 2004 silam.
Rumah itu tanpa listrik. Hanya lilin berbotol mini menemaninya untuk
menghindari gelap-gulita di malam hari.
“Saya tidak tahu harus tinggal dimana, inilah yang saya
miliki,” kata Nurhayati, saat saya menemui ratu “istana” lapuk itu, Sabtu, 2 Februari lalu. Pernyataan itu
seperti mengetuk indera perasaan. Ia menceritakan dengan lirih bahwa rawa itu
pun bukanlah miliknya, melainkan milik salah seorang karyawan perusahaan asing
ternama yang ada disekitar kota megah tersebut.
Kita tinggal di Kota petro dollar, kota gas megahnya,
lalu mengapa hal seperti ini masih ada? pikiran saya berontak sendiri. Hanya
berbekal kemampuan sebagai tukang urut keliling, ia mendapatkan penghasilan
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tubuhnya digerogoti beberapa
penyakit, seperti reumatik dan gangguan lambung, sehingga terpaksa tergantung
pada obat-obat generik yang didapatkan di apotik.
Perempuan yang memiliki kesenangan memelihara bunga untuk
menghapus sepi ini mengaku tidak pernah mendapat perhatian khusus dari
pemerintah. “Hanya ada bantuan dari tetangga,” katanya sambil tertunduk lesu.
Baru-baru ini, ia dibantu untuk memperbaiki atap rumah oleh seorang dokter yang
tinggal di sekitar lingkungan itu. Namun tetap saja ia tak mampu menggantikanya
dengan atap seng atau genteng tanah liat untuk “istana tersayangnya” itu. Rumah
itu hanya terkanopi pelepah daun rumbia. Kesedihan begitu tergambar di
wajahnya, ketika menceritakan bagaimana ia harus memperbaiki dinding-dinding rumahnya
yang keropos.
Dengan kondisi seperti itu ia tetap terlihat tegar dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari. Setiap
paginya, setelah salat subuh, ia pergi mengambil air di sumur untuk diisi ke
bak kamar mandi di rumahnya. Kemudian ia berkemas ke pasar dengan berjalan kaki
menggunakan
sendal bututnya, sambil menjinjing sebuah kantung beras untuk mengutip
botol-botol bekas air mineral. Di pasar, ia giat membantu sepasang suami istri
yang berdagang buah kelapa.
Sejak pagi rumah itu tertutup dan baru terbuka kembali
ketika matahari akan ditelan bumi. Saat itulah Selinting lilin kembali menemaninya di saat
gelap, tanpa listrik ia berdiam istirahat hingga pagi.
Ada dua tempat tidur di rumah tak berkamar itu. Satu berbahan busa
sedangkan satu lagi dipan sederhana. Ia lebih memilih dipan sederhana yang
mulai berkutu atau pijet dalam bahasa Aceh. Ia seperti ratu di tengah kutu-kutu kasur
itu. “Saya tidak bisa tidur disitu, bisa
sesak saya, karena tenggelam ke
dalam,” tuturnya. Kesabarannya begitu dalam sehingga ia tetap tak mencoba untuk
meminta bantuan ke rumah walikota yang katanya sedang menjalankan program
syariat Islam lewat ngangkangnya itu.
Sejuta cerita indah melingkupi kota yang pada masa
megahnya pernah berdiri perusahaan gas multinasional dan perusahaan-perusahaan
hilir lainnya. Gegap dian yang tersembul di cerubung pabrik dan lampu
kelap-kelip itu kini mulai meredup, seredup perasaan Nurhayati memanggul derita
sendirian. Lalu, sampai kapan ia akan menempati gubuk di rawa itu?
Mungkin masih ada yang ingat kampanye sang walikota pada
Pilkada lalu yang mengatakan dengan penuh cinta bahwa masyarakat miskin adalah
sahabat-sahabatnya? Rayuan cinta itu mengantarkannya terpilih menjadi walikota.
Tapi masyarakat yang dicintainya dalam kata itu, seperti Nurhayati, masih sepi
tanpa bantuan “cinta” yang membuatnya bisa sedikit berbahagia. Miskin di istana
lapuknya.
Penulis adalah: Jurnalis dan Peserta
Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan 3.
Langganan:
Postingan (Atom)